keindahan nusantara | Dan semua seluk beluk kehidupan di dunia ini

Cerita Alam | PENGALAMAN MISI DI PAPUA NEW GUINEA

Cerita Alam | PENGALAMAN MISI DI PAPUA NEW GUINEA
 

Dengan senang hati saya menyambut tawaran itu, karena saya pikir mungkin  ada gunanya bagi para konfrater muda kita yang bercita-cita untuk bermisi ke PNG. Siapa tahu? Hanya Tuhan yang tahu semuanya ini. Karena itu ijinkanlah saya untuk membagi penagalaman-pengalamanku sebagai misinaris di PNG. Saya sudah bekerja di PNG  selama kurang lebih 13 tahun.Amat kebetulan pada hari minggu biasa ke- 8 setelah perayaan Ekaristi, saya didekati  oleh Br. Alex dari SOVERDI Surabaya agar kalau bisa men-sharingkan pengalaman-pengalaman sebagai missinaris di Papua New Guinea    Disana ada beberapa konfrater kita dari Indonesia yang sudah lebih dahulu bekerja di PNG. Tentunya pengalaman-pengalaman yang ku sharingkan ini lebih bersifat pribadi sekalipun ada beberapa pengalaman yang mungkin anda jumpai sebagai pengalaman bersama dengan konfrater yang yang lain. Pengalaman-pengalaman yang membahagiakan atau yang menyenangkan dan pengalaman-pengalaman sedih, susah, dan atau ditantang akan anda jumpai dalam seluruh rangkain ceritere berikut:

 Pada tanggal 8 Septembber 1999, saya ditahbiskan menjadi imam bersama dengan ke-5 teman se-angkatan di paroki St. Mikhael Maukeli, Flores. Empat bulan pertama menjadi imam saya melayani umat di paroki Bekek kecamatan Riung, Ngada utara. Berada bersama umat Allah di Bekek, terutama diantara para pemuda dan pemudi Katolik memang sungguh menyenangkan. Pengalaman bulan madu setelah 4 bulan  ditahbiskan berakhir setelah ada panggilan dari Superior Delegatus di Jakarta. Maka, saya bersama dengan kedua bruder kita (Br. Lukas Tukan, SVD dan Br. Stefanus Siku, SVD) ke Jakarta untuk mepersiapkan diri ke Australia guna memperdalam/mendalami bahasa Ingris di kota Melbourne, tepatnya di Institusi yang bernama Box Hill TAFE.



Selama 6 bulan berada di Melbourne, saya sungguh memakai, memaknai dan menikmati kesempatan yang diberikan untuk meningkatkan ketrampilan berbahasa Inggris. Disamping itu, saya juga memakai kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan extrakurikuler yang diorganisir oleh students kita dari Indonesia untuk  menjelajahi beberapa kota di Australia waktu liburan panas (summer), seperti di Sydney, Adeleide, Brisbane, Philip Island dan Queensland. Saya sungguh mengagumi keindahan panorama benua Australia, yang bersih, aman, ramah dan sebagainya. Alangkah menyenangkan berada di benua Kanguru, kami bagaikan berada di dunia paradise. Akan tetapi, semuanya itu segera berakhir setelah kursus bahasa Ingeris selesai.

Pada tanggal 12 May 2001 kami bertiga terbang dari Brisbane Menuju kota Port Moresby, ibu kota Negara Papua New Guinea. Kami disambut dengan ramah oleh para frater kita dari PNG dan konfrater yang bekerja di seminari Bomana (kira 8 kilo meter di luar kota Port Moresby).

 Dua hari setelah itu kami langsung mengikuti kursus bahasa Pidgin, bahasa yang umum dipakai di PNG disamping bahasa Inggris.  Kursus berlangsung selama kurang lebih enam minggu dan setalah itu kami bertiga berbagi jalan.  Br. Lukas Tukan ke distrik Wewak bagian utara dari PNG, Br. Stefen ke Migende, daerah pegunungan dan saya sendiri  ke Mt. Hagen, juga daerah pegunungan.

Di keuskupan Mt. Hagen saya bekerja di paroki Kristus Raja Minj, sebagai pastor pembantu selama satu tahun dua bulan. Keadaan berubah setelah pastor paroki saya mendapat tuga belajar ke Kanada dan saya sendiri menangani paroki terbesar kedua di keuskupan ini. Saya tidak bertahan lama di paroki Minj ini, karena saya masih baru dan sendirian di sana. Ketika berada sendirian perasaan rindu tanah air, sahabat kenalan, keluarga, (home sick) menjadi perasaan dominan. Ini wajar dan harus saya terima dan olah dengan tabah. Dan saya pikir semua orang akan masuk dalam situasi seperti  ini ketika berada jauh dari keluarga, sahabat kenalan dan lingkungan kebudayaan dan tanah air untuk pertama kalinya.

Kesulitan-kesulitan awal yang sangat mempengaruhi saya adalah ketika saya bergulat dengan proses adaptasi atau penyesuaian diri dengan budaya dan lingkungan baru, bahasa dan tata cara hidup orang di sana. Saya merasakan kesendirian dan seolah-olah saya berada jauh dari sanak keluarga, konfrater dan sahabat kenalanku. Saya merasa terisolir dan terlempar atau cut off and out of space dari dunia yang mapan, budaya dan pola hidup yang sudah saya geluti. Waktu itu saya seolah-olah sedang mencari suatu identitas baru lagi agar bisa merasa satu atau at home dengan dunia nyata, orang dan kebudayaan yang baru. Saya membutuhkan waktu cukup lama kurang lebih 2-3 tahun untuk bisa menyesuaikan diri dengan  keadaan dan lingkungan kebudayaan baru.

Oleh karena ada pergulatan batin tersendiri maka saya jatuh sakit setelah kurang lebih 2 tahun berkarya di daerah pegunungan. Saya minta pindah ke daerah pantai dengan alasan pemulihan kesehatan. Tiga kali saya sendiri menghadap uskup untuk pindah distrik, tapi tidak berhasil. Uskup tetap mempertahan kan saya supaya tetap bekerja di Kesuskupan Mt. Hagen. Saya merasa berat untuk terus berkarya di daerah pegunungan yang dingin cuacanya dan tidak bersahabat dengan latar belakangku yang lahir dan dan bertumbuh di daereah pantai. Maka pendekatan berikutnya adalah melalui pater provincial. Setelah ada diskusi antara provincial dengan uskup maka saya diijinkan untuk ke daerah pantai dengan catatan akan kembali ke Mt. Hagen setelah pulih dari sakit.

Ternyata benar,  kesehatan saya membaik setelah saya bertugas di daerah pantai. Sekalipun di daerah pantai utara PNG banyak nyamuk dan rawa-rawa, saya tidak terserang malaria dan penyakit yang berhubugan dengan malaria. Saya bersyukur bahwa kebijakan yang diambil oleh provincial untuk memindahkan saya dari daerah pegunungan ke daerah panatai punya nilai positif. Selama berada di daerah pantai saya bekerja di paroki Bogia sebagai pastor pembantu selama satu tahun enam bulan. Paroki ini jauh dari kota sekitar 280 kilo meter. Setelah itu, Saya ke pulau Mana untuk membantu satu konfrater tua dari Italy. Baru 3 bulan pertama terjadilah letusan gunung berapi di pulau itu. Hampir sebagian besar penduduk diungsikan ke daratan PNG dan saya di minta oleh uskup untuk melayani umat kami di daerah pengusian. Dari kamp ke kamp saya melayani umat Allah selama kurang lebih 2 tahun. Satu kali saya mengalami kecelakaan mobil, karena lari dengan kecepatan yang cukup tinggi. Waktu itu saya terburu-buru ke daerah pengungsian untuk membawa obat-obatan dan makanan untuk umat saya. Untunglah saya tidak mengalami cedera berat, hanya luka-luka ringan.


Setelah melayani umat di daerah pengungsian, saya diminta oleh Bapak Uskup Madang, Uskup Agung William Kurtz, SVD, untuk menangani paroki Bosmun dan Kayan yang berada lebih jauh lagi dari kota Madang (340 km). Saya bekerja di dua paroki yang terisolir ini selama 5 tahun. Saya bergulat dengan sungai yang penuh dengan buaya dan nyamuk, rawa-rawa dan banjir setiap musim hujan. Saya juga berjuang untuk memajukan iman umat Allah yang masih terbelakang. Pola hidup mereka yang masih tergantung pada misionaris, (menunggu untuk disuap), ketertinggalan di bidang pendidikan dan kesehatan, perumahan dan pola hidup masyarakat yang masih terbelakang. Ketertinggalan di bidang transportasi dan komunikasi. Di wilayah-wilayah ini sering terjadi perang antar suku, sehingga menimbulkan kerusakan-kerusakan kebun, perumahan dan rasa tidak nyaman. Sementara itu tingkah laku anak-anak muda yang putus sekolah yang tidak mau diatur atau turut suka dan kelompok pengisap ganja dan marijuana turut memperkeruh situasi di paroki ini. Sungguh suatu perjuangan dan pergulatan tersendiri dalam batinku.

Memang Tuhan Mahatahu untuk semua yang telah terjadi dalam hidup dan karya misi yang saya emban dan yang saya alami di dua paroki ini. Di wilayah ini  saya hampir dibunuh gara-gara seekor anjing bodoh yang lari lewat di jalan dan tergilas mobilku. Tuan anjing datang ke pastoran dengan membawa parang hendak memotong leherku, untunglah saya cepat menghindar. Yah, di PNG ketika seseorang dalam keadaan emosi dan marah, apa yand ada di tangannya bisa saja menjadi senjata untuk menyerang dan membunuh orang lain. Mereka tak bisa mengontrol diri di saat emosi dan marah. Kita perlu hati-hati dan waspada selalu.  Ini pengalaman trauma yang menyakitakan dan butuh waktu lama untuk melupakannya dan memaafkan mereka.

Saya bekerja dan melayani umat di dua paroki ini selama kurang lebih 5 tahun, dan setelah itu saya mendapat kesempatan untuk ikut kursus penyegaran di Nemi, Roma, Italy pada tahun 2010. Setelah kembali dari Nemi, saya diminta oleh pater provincial untuk bergabung dengan team formasi dan pembentukan dengan tugas sebagai direktur panggilan, tinggal di provinsialat dan bukan di paroki lagi. Selama bertugas sebagai  vocation director, saya diminta oleh pihak keuskupan setempat (Keuskupan Madang) untuk melayani umat dan para nara pidana di propinsi Madang. Pengalaman buruk juga terjadi ketika pada tahun lalu tepatnya tgl 16 Desember 2012, saya dalam perjalanan pulang dari penjara di luar kota Madang  melayani para napi, saya ditodong oleh para perampok bersenjata, saya di pukul dan dihadang . Saya mendapat luka- luka ringan kena parang yang di ayunkan ke mobil waktu mereka menyerang saya. Untung saya tidak kehilangan akal dan panic sehingga  saya berhasil keluar dari jalan yang berbatu-batu dan berlubang dan  melarikan mobil saya. Masih ada pengalaman yang lain lagi,


Pengalaman terakhir pada tahun 2013, tepatnya tanggal 15 January, kami berangkat dari daerah pegunungan menuju rumah pusat SVD di Madang untuk meghadiri pesta Pendiri kita St. Arnoldus Janssen. Dalam perjalanan mobil yand dikemudi oleh Br. Martine Tnines terbalik, karena berpapasan dengan bis yang sedang mendaki di sebuah bukit.  Dalam mobil itu ada empat orang : Br. Martin Tnines, Br. Karer Boro, dan dua anak muda dari PNG yang ikut  bersama mereka. Sementara saya dengan seorang suster senior dari Jerman sudah mendahului mereka dua atau tiga kilo meter. Pada saat mobil itu terbalik penumpang yang turun dari bis bukan menolong mereka melain memukul  memukul Br. Martin dan Br Karel. Mereka dituduh penyebab kecelakaan dan enimbulkan ketakutan diantara penumpang. Pada hal yang sebenarnya, Br. Martin tak dapat mengontrol mobil dan berusaha untuk menghindari tabrakan dengan mobil yang mendaki itu. Dan karena itu Br. Martin  terbalik tanpa menyentuh sedikitpun bis yang sedang dalam perjalanan menuju daerah pegunugan itu. Kedua bruder kita mengalami luka-luka, karena dipukul, ditendang dan diseret, mereka tidak membalas sedikitpun, merka pasarah, hanya Tuhan yang tahu semuanya ini. Saya yang ditelpon oleh Br. Karel setelah kejadian itu, terpaksa harus balik ke tempat kejadian dan menyaksikan betapa kejam dan tak berprikemanusiaan dari para penumpang terhadap kedua bruder kita. Usah say untuk menolong mereka adalha melaporkan kejadian itu ke polisi terdekat dan polisi segera mengambil tindakan, dan kami urus sampai tuntas.

Demikianlah sekelumit pengalaman misiku, bukan untuk menakut-nakuti tetapi itulah kenyataan yang harus  kami alami. Dan ini bukan pengalaman terakhir, mungkin kami masih akan mengalaminya lagi. Kami berusaha untuk memperbaiki citra misi kita di PNG, karena setiap misionaris yang pernah bekerja di PNG pasti ada pengalaman-pengalaman buruk dan mungkin mebawa trauma dalam hidup mereka

Tuhan Yesus diutus untuk mengalami nasib manusia yang malang dan berdosa dan kita diutus untuk mengambil bagian di dalamnya. Sanggupkah kita mengikuti teladan Tuhan kita Yesus Kristus?Terima kasih, selamat membaca, Tuhan menyertai dan memberkati misi kita semua.
Kisah ini di lansir dari http://soverdisurabaya.org/pengalaman-misi-di-papua-new-guinea-png.html

HOT VIRAL

 
Powered by Blogger.

Translate

YUSUF WEBMASTER DAN SEO