keindahan nusantara | Dan semua seluk beluk kehidupan di dunia ini

Perjalanan Seorang Diri ke Puncak Kilimanjaro

Bukannya ingin menampilkan kesan dramatis, tapi Saya akui ekspedisi yang Saya emban kali ini merupakan sebuah ekspedisi yang tergolong nekad, lantaran Cuma bersolo karir, nekad soal biaya yang minim, nekad karena tidak mengenal dengan baik liku-liku Kilimanjaro yang merupakan salah satu gunung dari rangkaian  gunung-gunung tertinggi yang menjadi puncak dunia.
Mengapa Kilimanjaro ? Begitu saja nama keluar dari benak Saya. Menurut beberapa literatur dan pendapat macan-macan gunung seperti Norman Edwin,Kilimanjaro tidak kalah menarik dari Mt.Elbrust, tujuan Ekspedisi semula. Berubahnya tujuan adalah karena tibanya sebuah berita dari kedutaan besar RI di Moscow yang mengabarkan bahwa cuaca di Mt.Elbrust sedang sangat tidak ramah. Membayangkan badai salju yang sedang mengamuk membuat saya kembali teringat pengalaman buruk terkurung berjam-jam dalam gua salju di Mt.Cook beberapa waktu yang lalu.Cukuplah sekali saya alami seumur hidup.
Karena Senat dan Stapala tidak keberatan dengan perubahan rencana ini, maka saya mulai mempersiapkan diri. Mulai dengan persiapan fisik seperti jogging, push up, sit up, dan pull up, serta latihan iklim di Gunung Gede. Karena ini juga merupakan ekspedisi rodi, Saya pun repot mengurus kesana sini segala macam perijinan, mengumpulkan berbagai informasi tentang Kilimanjaro, bahkan sampai mencari sponsir segala.
Kilimanjaro adalah gunung tertinggi di Afrika dengan ketinggian 5895m. Gunung yang terletak di Tanzania yang yang berudara tropis ini memiliki salju abadi yang menutupi puncaknya. Salju di gunung tropis ini yang menarik para wisatawan untuk sekedar datang dan menikmati pemandangan atau mencoba menaklukan sang ketinggian yang sangat menantang tersebut. Hans Meyer adalah orang yang pada tahun 1889. Sejak saat itulah banyak para pencinta gunung mulai berdatangan dan menguji kemampuan mereka.
Dua bulan masa persiapan lewat sudah. Waktu keberangkatan yang sudah mundur dari jadwal semula (12 september 1991), karena terbentur dengan mid semester, akhirnya tiba. Hari itu, Kamis, 14 November 1991, dengan dilepas oleh beberapa teman, Saya terbang menuju Kenya. Kilimanjaro memang lebih mudah dicapai lewat Kenya, dibanding lewat Tanzania sendiri.
Yomo Kenyatta International Airport, tulisan pertama yang tertangkap oleh mata saya, begitu tiba di Nairobi, Ibukota Negara yang terletak di Afrika tengah ini.Tidak ada seorang pun yang menyambut Saya. Ini memang sudah saya perkirakan sejak dari Jakarta karena sebelumnya saya hanya sempat mengontak pihak KBRI Kenya satu kali.Jadilah saya di sabtu siang itu terdampar di negeri asing. Saya merasa home alone.
Yudhi dharma Nauly mengibarkan bendera Merah Putih
Saya coba menelepon KBRI Kenya, tapi telepon di ujung sana tak kunjung diangkat. Karenanya saya putuskan untuk langsung menuju gedung KBRI. Dengan modal malu bertanya menggelandang di negeri orang, saya berhasil sampai dengan selamat, sekaligus mendapat tumpangan untuk menghabiskan malam pertama di negeri bekas jajahan Inggris ini.
Dari keterangan supir taksi, saya mengetahui bahwa pagi hari kedatangan Saya telah terjadi huru-hara dan demonstrasi sebagai protes mengenai partai tunggal yang berlaku di Kenya. Rupanya rakyat mulai bosa dengan kekuasaan tunggal partai dengan lambang ayam jantan ini. Saya menyesal tidak datang lebih cepat. Sebuah demonstrasi merupakan kejadian yang jarang ada di negeri sendiri.
Esoknya, atas anjuran seorang staf KBRI, saya datang ke Travel Agent untuk perjalanan saya ke Merangu, desa terakhir di kaki Gunung Kilimanjaro. Ternyata perjalanan dengan menggunakan jasa travel agent ini terhitung mahal, kurang sepadan dengan kondisi bisnya, yang meskipun terawat tetapi sudah patut untuk dipensiunkan.
Hari senin Saya sudah dalam perjalanan ke Merangu. Disana sini terlihat pemandangan khas tropis. Hanya disini hawanya sungguh menyengat. Kenya merupakan negara yang perekonomiannya paling maju di Afrika. Tetapi kemajuan ini masih belum seberapa dibanding Indonesia.Sebersit timbul rasabangga sebagai Bangsa Indonesia di lubuk hati.
Merangu, desa turis yang dibangun untuk mendukung program parawisata oleh Pemerintah Tanzania, memiliki sarana-sarana kehidupan yang cukup lengkap. Ada beberapa buah penginapanyang murah meriah, toko-toko yang menyediakan keperluan hidup sehari-hari. Kantor pos, bank, serta penduduk yang ramah dan mengerti bahasa inggris. Letaknya di ketinggian 1500 m dari permukaan laut membuat suhu di Merangu berkisar 18 derajat Celcius.
Hanya semalam saya menikmati, Pokoknya tanggal 20 November 1991, saya sudah memulai pendakian. Disini setiap pendaki diwajibkan untuk lapor dan membawa seorang guide.Dengan membayar $460, saya boleh memasuki kawasan Taman Nasional Kilimanjaro dan memakai segala fasilitasnya. Hanya itu sudah termasuk jasa seoarang porter dan seorang guide yang akan menemani sampai puncak. Saya sedikit menyesal telah men declare setiap dollar di kantong Saya, akibatnya dollar-dollar itu tidak dapat memasuki pasar gelap, dan ini sedikit menyulitkan Saya karena penduduk negara yang bermata uang  Tanzania schilling ini malas berurusan dengan bank.
Serasa menjadi turis dan bukannya pendaki yang mengemban sebuah ekspedisi. Ketika saya memulai menapaki atap benua hitam itu pemandangannya mirip dengan pemandangan di Gunung Gede. Jalannya berbatu-batu dan tidak selalu mendaki. Disana sini terdapat tumbuhan tropis, mengingatkan Saya kepada Tanah Air. Mendadak saya kangen suasana rumah.
Jalan mulai menyempit, saya mulai memasuki kawasan Meranda di ketinggian 2700 m, Dimana terdapat pondok pondok tempat tempat para pendaki biasa bermalam. Meskipin berukuran 4 X 8 m, pndok pendok memanfaatkan tenaga matahari untuk membangkitkan listrik dan memiliki fasilitas yang cukup lengkap seperti pemanas udara dan kamar mandi untuk wc otomatis. Disalah satu Maranda Hut ini saya berisitirahat untuk mengembalikan tenaga selama semalam.
Esoknya Saya meneruskan langkah ke Horombo (3720 m). Disini juga terdapat pondok pondok seperti di Maranda, hanya jumlahnya lebih sedikit. Sepanjang perjalanan Maranda-Horombo saya banyak menemui Edelweis. Kilimanjaro memiliki 3 macam edelweis, Helichyatrumaryrhantrun, Helichyntrum Kilimanjaris, Helichyntrum jonomayeris. Tidak berbeda dengan di Gunung Gede, Edelweis yang idah ini hanya bisa dipandang tanpa boleh dipetik. Pada pendaki yangdatang dari mancanegara dianggap jujur, sehingga kantong-kantong mereka tak pernah diperiksa petugas. Ternyata saya pun tidak luput dari Mountain Sickness penyakit gunung yang menyebabkan mual, loyo, lesu , serta pusing. Padahal ini yang paling ditakuiti oleh para pendaki. Nfsu makan saya berkurang entah saya seperti lonesome cowboy yang berpetualang tanpa teman atau karaena HB saya yang terlampau rendah sehingga beradaptasi dengan oksigen yang mulai menipis, saya merasa semakin pusing dan sendiri.
Dari Horombo, saya membekali diri dengan air sebanyak mungkin karena di Kibo tempat perhentian selanjutnya tidak terdapat air minum. Dari sini pemandangan dan iklim sudah berubah. Kalau Meranga masih merupakan hutan tropis, Horombo merupakan peralihan tropis dan tumbuhan semak-semak dimana-mana, maka mulai dari ketinggian berkisar 4200 m, yang saya jumpai adalah padang salju dimana-mana, tidak seperti mt.Cook, salju disini tipis, sehingga peralatan gunung yang saya bawa dari Jakarta sia-sia.
Perlahan salju turun menerpa saya. Suhu yang menunjukan angka 2 sampai 3 derajat celcius mulai mengigit. Kibo Hut diketinggian 4703 m dengan zone yang didominasi oleh Alpin Dessert sudah ada di depan mata. Hari ini Jumat tanggal 22 November 1991.
Di Kibo Cuma sebuah pondok yang ukurannya lumayan besar (10 kali 10 meter). Pondok ini jarang dipakai untuk menginap oleh pendaki karena di sini minim air. Saya sendiri tidak menginap, tengah malam saya sudah berangkat lagi, dan ditemani oleh guide, sementara si porter menunggu di Kibo. Sesuai dengan perjanjian semula kali ini langsung menuju puncak merayap naik. Ternyata waktu yang saya tempuh untuk mendaki puncak kurang 1 jam dari waktu standar yang 6 jam jam 30 menit.
Sabtu tanggal 23 november 1991 Pukul 05.12 waktu setempat, saya telah menjejakan kaki di uhuru peak 5895 m dpl, dapat dicapai dengan menggunakan marangu route yaitu rute yang saya ambil dan puncak yang lain adalah mawenzi Peak dengan ketinggian 5149 m. Untuk mencapai puncak ini lebih dibutuhkan keahlian yang tinggi. Puncak Mawenzi terdiri dari bebatuan dan karang yang nyaris tegak seperti dinding, sehingga membutuhkan peralatan rock and ice climbing yang lengkap. Orang jarang mengunjungi Mawenzi Peak karena selain berbahaya,pemandangannya kalah menarik di banding Uhuru Peak.
Ternyata saya orang pertama yang menginjak Uhuru Peak hari itu. Bahkan saya lebih cepat dari matahari yang masih bersembunyi diperaduannya. Suasana puncak yang remang membuat saya tidak dapat memotret suasana itu sebagai kenangan di puncakKilimanjaro.
Tapi suasana ini membuat hati saya makin terharu. Disinilah saya berdiri di puncak yang tertinggi di benua Afrika.Saya bangga dan lega dapat menunaikan amanat yang saya emban untuk memperingati hari ulang tahun Stapala yang tepat pada tanggal 24 November 1991. Lagi-lagi kesendirian saya yang membuat tidak dapat membagi kebahagiaan yang tak trungkapkan itu. Saya hanya dapat bersyukur kepada Ilahi tanpa sanggup berkata-kata.
Setelah puas menyaksikan matahari terbit, saya turun ke Gilmans Points (5685 m). Disini saya baru berpose dengan latar belakang salju.saya sudah begitu merindukan kasur yang empuk dan suasana pedesaan yang khas di Marangu.
Perjalanan turun hampir tanpa rintangan yang berarti. Untuk turun makan waktu yang lebih sedikit dibanding waktu untuk mendaki, mungkin ini dipengaruhi oleh rasa lega sehingga langkah saya begitu ringan.
Dari marangu ke Nairobi saya mengambil rute sambung menyambung yang jauh lebih murah. Saya naik bis Marangu ke Mosi, dari Mosi ke Arusa, dari Arusa ke Namangga, dari Namangga ke Nairobi. Melelhkan memang, tapi saya puas, bahkan saya sempat menghadiri HUT KORPRI tanggal 29 November 1991. Meskipun dirayakan dengan sederhana, supaya terasa khidmat. Mungkin karena Kami, orang-orang Indonesia di sini begitu jauh dari Tanah Air. Mungkin perasaan khidmat tidak begitu terasa atau bahkan muncul  kalau pada saat itu Kami ada di Indonesia.
Sabtu, hari berikutnya , saya sudah berada di Moscow. Lagi-lagi telepon saya tidak diangkat oleh KBRI Moscow. Rupanya tanpasaya sadari saya mnelakukan kesalahan yang sama, hanya kali ini saya lebih beuntung karena seorang staf KBRI yang saya telepon ke rumahnya menjawab telepon saya. Alamat dan nomor telepon tersebut saya dapat dari KBRI  Kenya. Beliau terkenal sering memberi tampungan kepada orang-orang Indonesia, terutama pemuda-pemuda yang mampir ke Moscow untuk mendaki gunung atau baru turun gunung seperti saya.
Saya tertahan di Moscow selama empat hari karena pesawat ke Indonesia baru akan terbang 4 hari lagi. Kesempatan ini tentu tidak saya sai-siakan. Mumpung saya berada di negara tirai besi saya puaskan hati dengan berkeliling Moscow.
Perekonomian di Moscow ini kacau, kalau tidak mau dibilang hancur. Dimana-mana toko terutama milik pemerintah, dimana pelanggannya membayar dengan kupon tertentu, kosng melompong. Harga-harga juga tidak terkontrol. Sebungkus rokok yang dijual di toko biasa harganya berkali kali lipat dengan rokok yang di duty free yang hanya ada di pelabuhan udara. Begitu juga dengan kurs rubbel terhadap mata uang asing. Dipasar dollar bisa dijual dengan harga 90 rubbel, sementara kurs resminya $1 hanya sama dengan 1,6 rubbel. Di Moscow mendadak kantong saya menjadi kembali tebal setelah menukarkan dollar yang tersisa dengan rubbel.
Saya juga mengunjungi Red Square, sebuah lapangan yang sama sekali tidak merah.Lpangan ini sangat luas dan banyak orang yang lalu lalang melihat-lihat toko yang terdapat di sekitar itu tanpa niat membeli. Disalah satu gedung di lpangan itu konon masih tersimpan mayat Lenin yang diawetkan. Entah sampai kapan jasad Bapak Rusia itu akan tenang tanpa diganggu. Barangkali dalam waktu yang tak lama lagi jasad itu akan disingkirkan seperti nasib yang menimpa patung-patung Lenin yang dulu pernah tegak di Red Square.
Tempat lain yang menarik adalah teater Bolsywik, sebuah teater yang kadang-kadang dipakai untuk propaganda oleh Pemerintah di Moscow.selain itu juga ada gereja yang arsitekturnya mirip dengan masjid dengan kubah-kubahnya. Rata-rata penduduk Moscow tinggal di flat yang sempit. Begitu juga dengan ke-48 staf KBRI yang tinggal di Moscow.
Penduduk Moscow cenderung dingin dan bersikap curiga terhadap pendatang atau orang asing. Mereka tidak pernah berusaha dengan ramah terlebih apabila tidak mengerti bahasa yang digunakan orang asing ayng menyapa mereka. Ini memang karena sifat dasar penduduk rusia yang acuh dan dingin.
Akhirnya status sebagai wisatawan di negeri orang harus saya tinggalkan. Tanggal 5 Desember 1991 siang, saya telah berada di Bandara Soekarno Hatta. Tidak ada yang menjemput saya, karenanya saya telepon ke kampus STAN Purnawarman, untuk ketiga kalinya kembali tidak menadpat jawaban. Sya telelpon ke rumah, untunglah ada ayah saya dan segera datang menjemput.
Lelah, teramat lelah. Tapi saya merasa puas. Tidak sabar rasanya mulut ini untuk menceritakan segala pengalaman selama 22 hari berpetualang sendirian. Tentang supir taksi yang tersenyum tak mengerti ketika saya maki-maki dengan bahasa Indonesia, tentang gadis-gadis Ruisa yang dingin tapi menarik, tentang hal-hal yang lucu yang terjadi, sementara saya menahan tawa, lantaran tak ada orang yang menemani saya tertawa. Terlalu banyak yang saya ingin ceritakan, sehingga saya tidak tahu harus mulai dari mana.
Entah kapan saya berpetualang lagi. Stapala akan mengadakan ekspedisi-ekspedisi yang lain.Bahkan yang kelihatan Cuma angin seperti Seven Summits mungkin suatu saat akan tercapai pula. Setidaknya satu dari tujuh puncak dunia di tujuh benua telah terjejaki, dan enam lainnya mungkin akan menyusul  sebentar lagi. Ya, entah kapan.

HOT VIRAL

 
Powered by Blogger.

Translate

YUSUF WEBMASTER DAN SEO