keindahan nusantara | Dan semua seluk beluk kehidupan di dunia ini

[7 wonders] Menjelajah sisi lain Pulau Komodo yang misterius

Pulau Komodo sebenarnya  sudah lama menjadi tujuan wisata turis-turis asing karena di pulau tersebut adalah habitat asli kadal raksasa komodo yang konon sudah ada sejak jaman dinosaurus. Namun baru belakangan ini tujuan wisata ini menjadi buah bibir setelah masuk nominasi 7 keajaiban dunia yang penuh kontroversi. Meskipun secara resmi tidak terpilih, namun animo masyarakat Indonesia untuk berkunjung ke sana justru meningkat drastis. Saya sendiri beruntung bisa berkunjung ke pulau ini di tahun 2009, jauh sebelum hiruk pikuk kontes kontroversial tersebut.

Pulau Komodo dan laut biru nan jernih
Pulau Komodo dan laut biru nan jernih
Meskipun menjadi tujuan utama turis mancanegara yang gemar berpetualang, Pulau Komodo kurang diminati turis dalam negeri. Faktor klasik yaitu biaya menjadi kendala utama. Untuk menuju Pulau Komodo dari Jakarta, Anda harus terbang ke Bali atau Lombok terlebih dahulu. Kemudian dilanjutkan terbang ke Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur, dengan pesawat baling-baling. Dari Labuan Bajo, Anda harus naik kapal menuju Pulau Komodo. Di sini biaya terbesar muncul karena tidak ada kapal reguler yang membawa Anda dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo. Anda harus menyewa satu kapal, umumnya berupa kapal nelayan tradisional, yang harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Memang para turis biasanya mengakali dengan menyewa secara beramai-ramai, namun tetap saja mahal bagi sebagian besar turis dalam negeri. Belum lagi penginapan di Pulau Komodo yang memang mahal. Banyak turis yang akhirnya memilih “live aboard” alias tinggal di perahu secara ramai-ramai untuk menghemat biaya. Meskipun live aboard lebih murah, wisatawan masih harus membawa bekal makanan secukupnya sesuai lama tinggal di kapal.
Bermodal informasi dari dunia maya, akhirnya saya menemukan kalau ternyata ada kapal umum yang membawa penumpang biasa, umumnya warga Kampung Komodo, dari Labuan Bajo ke Kampung Komodo. Hanya saja, tak banyak turis yang tahu, dan jadwalnya tidak pasti. Bermodal sok akrab dengan penduduk lokal, akhirnya saya menemukan kalau kapal ini berangkat dari pelabuhan kecil di dekat Tempat Pelelangan Ikan, bukan dari pelabuhan utama Labuan Bajo. Sayangnya, di hari pertama saya masih gagal karena belum ada kapal yang mau berangkat. Baru keesokan harinya, saya bisa menaiki kapal ini bersama penduduk lokal lainnya. Kapal ini berupa kapal kayu yang diberi tenda terpal, bertenaga mesin diesel “Dongfeng” yang lazim dipakai para nelayan tradisional. Saat itu kira-kira ada 30an penumpang dan kondisi kapal cukup penuh. Jangan bayangkan ada kursi, jendela, AC, apalagi GPS. Peralatan keselamatan seperti jaket pelampung jelas tidak ada. Penumpang cukup duduk lesehan bersama barang bawaan masing-masing. Meskipun terlihat penuh, kapal ini juga masih sanggup memuat sebuah motor dan berbagai barang dagangan. Akhirnya pada pukul 11, kapal ini siap berangkat. Deru mesin dongfeng sangat memekakkan telinga, namun tampaknya para penumpang sudah terbiasa dengan suara berisik ini. Saya akhirnya memilih duduk di depan untuk meminimalkan bising dan kepulan asap pekat. Kali ini saya adalah satu-satunya turis diantara penduduk lokal lainnya. Mereka cukup bersahabat, tidak ada yang berpandangan aneh ke saya. Saya cukup menikmati perjalanan ke Pulau Komodo karena cuaca yang tenang dan pemandangan pulau-pulau sekitar yang sangat indah. Perjalanan dengan kapal ini memakan waktu sekitar 3 jam, sementara bila menggunakan kapal cepat alias speed boat bisa ditempuh dalam waktu satu jam saja. Menjelang akhir perjalanan, awak kapal menarik bayaran dari tiap penumpang, cukup dengan Rp 20.000 per orang. Tentu saja, barang dagangan yang banyak jumlahnya juga terkena biaya sendiri.
Kapal penumpang dari Labuan Bajo ke Kampung Komodo, satu-satunya transportasi murah ke Pulau Komodo
Kapal penumpang dari Labuan Bajo ke Kampung Komodo, satu-satunya transportasi murah ke Pulau Komodo
Menjelang pukul 3 sore, kapal ini merapat di pelabuhan Kampung Komodo. Awak kapal sibuk menurunkan muatan yang mayoritas berupa barang kebutuhan sehari-hari, sementara beberapa kuli juga membantu proses bongkar muat barang. Saya langsung dikerubungi anak-anak kecil yang terlihat antusias melihat orang asing di desa mereka.
Pantai di dekat pelabuhan Kampung Komodo, tampak kapal-kapal nelayan tradisional sedang ditambat
Pantai di dekat pelabuhan Kampung Komodo, tampak kapal-kapal nelayan tradisional sedang ditambat
Sekali lagi, berbekal info dari salah satu milis jalan-jalan, saya langsung menuju salah rumah satu sesepuh desa tersebut yang dulunya berprofesi sebagai “pencerita” yang bernama Pak Ishaka Mansyur. Karena nama beliau sudah terkenal di Kampung Komodo, tidak sulit bagi saya menemukan rumah beliau. Begitu saya sampai di rumah beliau, saya langsung disambut hangat oleh beliau, padahal saya baru pertama kali bertemu beliau. Saya hanya bercerita bahwa saya tahu nama beliau dari salah satu aktifis di milis yang pernah berkunjung kemari. Untungnya Pak Ishaka masih ingat dan dari sinilah beliau seperti sangat antusias menyambut saya seperti seorang saudara jauh yang lama tak bertemu.
Rumah Pak Ishaka yang sederhana, tipikal rumah-rumah di Kampung Komodo
Rumah Pak Ishaka yang sederhana, tipikal rumah-rumah di Kampung Komodo
Awalnya, beliau sedikit ragu dengan tujuan saya datang ke Pulau Komodo, sepertinya beliau takut kedatangan saya memiliki maksud-maksud tersembunyi. Namun setelah saya utarakan bahwa saya hanyalah wisatawan lokal yang ingin melihat Komodo sekaligus menyelami sisi lain Pulau Komodo yang jarang tersentuh orang luar, beliau langsung antusias dan bercerita banyak hal. Tak heran, profesi beliau memang sebagai pencerita atau narrator sehingga banyak hal mengalir dari mulut beliau. Pak Ishaka termasuk orang yang terlibat sejak awal dalam pengembangan pariwisata di Pulau Komodo. Beliau juga termasuk tetua di Kampung Komodo, sehingga beliau sangat paham sejarah Pulau Komodo.
Hal utama yang saya tangkap adalah beliau seperti tersingkir ketika ada investor luar yang masuk dan mengembangkan pariwisata Pulau Komodo. Saya sendiri kurang jelas dengan awal mulanya ketidakcocokan beliau hingga akhirnya beliau memutuskan untuk mundur dari profesinya sebagai pencerita Pulau Komodo. Untungnya, profesinya sebagai pencerita membuat koneksinya menjadi luas sehingga ada pihak luar yang mau membantu dengan mengajarkan ketrampilan mengukir patung kayu komodo. Kini, ketrampilan tersebut menjadi tumpuan utama banyak penduduk lokal Kampung Komodo. Mereka bisa membuat patung kayu komodo berbagai ukuran dan dijual di toko-toko suvenir di Labuan Bajo. Kadang-kadang, mereka juga menjual langsung di kapal-kapal pinisi yang singgah di Pulau Komodo. Kono, beliau perlu bersemedi dulu agar bisa mendapatkan bentuk komodo yang benar-benar “hidup”.
Beliau juga bercerita mayoritas penduduk di Kampung Komodo berprofesi sebagai nelayan tradisional. Namun, kini hasil tangkapan tak lagi sebanyak dulu. Penangkapan ikan secara berlebihan menjadi penyebab utamanya, masalah klasik yang dihadapi banyak nelayan tradisional. Hanya sedikit penduduk desa yang bekerja di Taman Nasional Komodo, entah sebagai pawang atau pegawai, itupun hanya mereka yang punya koneksi.
Yang membuat saya terkesan adalah beliau benar-benar menganggap saya sebagai saudara jauh, meskipun baru pertama kali bertemu. Bahkan saya dipersilahkan menginap di rumah saudaranya, Pak Tasrif, tanpa saya minta terlebih dahulu. Oya, kondisi rumah Pak Ishaka maupun Pak Tasrif juga tak jauh berbeda, sangat sederhana. Rumah Pak Ishaka hanya berupa rumah kayu alias “gedheg” dengan perabot tua di dalamnya. Rumah Pak Tasrif sedikit lebih baik, masih bangunan disemen meskipun perabotnya juga sama sederhananya. Dapur mereka pun sangat minim, hanya ada kompor berbahan bakar kayu. Kamar mandi pun tak ada, hanya mengandalkan tempat pemandian umum.
Suasana di Kampung Komodo yang sederhana namun damai
Suasana di Kampung Komodo yang sederhana namun damai
Rumah-rumah lain di Kampung Komodo juga tak jauh berbeda, sangat kontras dengan citra Pulau Komodo sebagai tujuan wisata kelas dunia. Padahal, tiket masuk ke Taman Nasional cukup mahal, belum lagi penginapan dan lain-lain. Saya langsung merasakan memang ada yang salah dengan pengelolaan wisata di sini. Namun, dalam kesederhanaan mereka, saya masih disambut dengan hangat, bahkan saya dijamu dan dipersilahkan menginap meskipun ala kadarnya.
Pagi harinya, saya diajak Pak Ishaka dan Pak Tasrif untuk mencari komodo sekaligus berziarah ke makam leluhur Pulau Komodo. Menurut legenda, penduduk asli  Pulau Komodo bernama Ata Modo yang merupakan kelompok nelayan yang berasal dari Kesultanan Bima. Konon, menurut Pak Ishaka, hanya dia yang tahu persis letak makam ini, bahkan penduduk Kampung Komodo yang mencoba mencari makam ini juga tidak pernah ketemu. Akhirnya, pagi hari kami langsung berangkat dengan naik perahu ketinting terlebih dulu. Setelah naik perahu satu jam, kami mendarat di suatu pantai tak berpenghuni. Menurut Pak Ishaka, biasanya banyak komodo di tempat ini, namun kali ini saya kurang beruntung.
Pantai menuju makam leluhur Pulau Komodo, Ata Modo, yang misterius dan tersembunyi
Pantai menuju makam leluhur Pulau Komodo, Ata Modo, yang misterius dan tersembunyi
Kami lalu berjalan kaki menembus hutan yang masih lebat, hingga akhirnya naik ke perbukitan yang agak gundul. Saya langsung terpana melihat pemandangan perbukitan Pulau Komodo yang benar-benar cantik. Kami masih harus naik turun beberapa bukit sampai akhirnya Pak Ishaka menunjukkan saya sebuah gundukan tanah berbatu dengan dua batang kayu yang ditancapkan, mirip dengan bentuk sebuah kuburan. Lokasi ini memang cukup jauh, kami harus berjalan kira-kira 2 jam dari pantai atau 3 jam dengan naik perahu dari Kampung Komodo. Inilah makam leluhur Pulau Komodo menurut Pak Ishaka. Bahkan Pak Tasrif juga tampak tertegun, rupanya ini juga pertama kali dia melihat makam ini setelah tinggal bertahun-tahun di Pulau Komodo. Lokasi makam ini memang benar-benar eksotis, terletak persisi di puncak sebuah bukit dengan pemandangan lepas perbukitan Pulau Komodo. Bukit-bukit ini umumnya hanya ditumbuhi rumput dan ilalang, hanya beberapa bagian yang tertutup hutan. Saya tak lupa memotret suasana sekeliling makam ini, termasuk ketika Pak Ishaka dan Pak Tasrif berdoa di samping makam ini.
Pak Ishaka Mansyur berdoa di samping makam leluhur Kampung Komodo, Ata Modo
Pak Ishaka Mansyur berdoa di samping makam leluhur Kampung Komodo, Ata Modo
Puas foto-foto disini, kami langsung kembali ke pantai dan kembali ke desa. Memang, jalur menuju makam ini benar-benar tersembunyi, tak ada petunjuk yang jelas. Saya pun kalau keesokan harinya disuruh pergi ke sana lagi, pasti akan tersesat. Sesampainya di desa, Pak Ishaka langsung meminta saya untuk memamerkan foto makam leluhur Pulau Komodo ke orang-orang yang dia kenal. Rupanya memang benar kata beliau, orang-orang tampak terpana melihat foto makam, mereka yang sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Komodo belum pernah sekalipun berkunjung ke makam tersebut. Tak heran, sore harinya gosip langsung tersebar bahwa ada orang asing yang sudah berkunjung ke makam leluhur Pulau Komodo. Mengingat Kampung Komodo hanya sebuah desa kecil, gosip ini langsung tersebar ke seluruh penjuru desa. Saya sendiri tak terlalu ambil pusing dengan gosip ini.
Kami bertiga berfoto di samping makam (ki-ka : Pak Ishaka, Pak Tasrif, saya) dengan bantuan tripod
Kami bertiga berfoto di samping makam (ki-ka : Pak Ishaka, Pak Tasrif, saya) dengan bantuan tripod
Keesokan harinya, saya sudah harus kembali ke Labuan Bajo karena besoknya saya sudah harus kembali ke Jakarta. Pagi harinya saya diajak Pak Ishaka untuk berburu komodo, kali ini cukup di bukit belakang desa. Kami cukup berjalan kaki tak sampai setengah jam, kali ini bonusnya berupa pemandangan alam Pulau Komodo dan sekitarnya yang sangat memanjakan mata.
Bukit di belakang Kampung Komodo dengan pemandangan yang eksotis ke arah laut lepas
Bukit di belakang Kampung Komodo dengan pemandangan yang eksotis ke arah laut lepas
Kata Pak Ishaka, dia sudah berdoa supaya saya bisa berjumpa dengan komodo sebelum meninggalkan pulau ini. Tampaknya doa beliau dikabulkan. Setelah menaiki bukit di belakang desa, mata jeli Pak Ishaka langsung menemukan kepala komodo yang nongol di antara rerumputan. Langsung saya bidik dengan kamera berlensa tele walaupun ternyata masih terlalu jauh.
Kepala komodo yang tampak dari kejauhan diantara rerumputan yang lebat
Kepala komodo yang tampak dari kejauhan diantara rerumputan yang lebat
Saya sendiri tidak berani mendekat karena khawatir tiba-tiba diserang komodo. Tak lama kemudian, komodo berjalan menjauh dan hilang dari penglihatan kami. Alhamdulillah, paling tidak saya sudah memotret komodo di habitat aslinya. Kami pun bergegas kembali ke desa. Tak disangka, setelah turun dari bukit, kami justru bertemu komodo yang sedang berjalan sangat dekat dengan jalan setapak. Kesempatan emas ini langsung tak saya sia-siakan. Beberapa gambar berhasil saya bidik tanpa menarik perhatian sang komodo. Saya benar-benar puas, persis sebelum saya meninggalkan Pulau Komodo, misi utama saya tercapai.
Komodo yang kebetulan lewat di dekat jalan setapak, benar-benar keberuntungan bagi saya
Komodo yang kebetulan lewat di dekat jalan setapak, benar-benar keberuntungan bagi saya
Kami kembali ke rumah Pak Ishaka untuk pamitan. Beliau kembali bercerita banyak hal, salah satunya pada saat beliau menemani seorang peneliti bernama Claire Ellis yang menulis buku tentang Pulau Komodo. Buku itu berjudul “The Land of Komodo Dragon”, diterbitkan oleh Times Edition tahun 1998. Saya cukup beruntung masih bisa menemukan buku ini di Jakarta setelah kembali ke ibukota. Menjelang siang, saya berpamitan dengan keluarga Pak Ishaka dan Pak Tasrif, tak lupa mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan mereka selama saya tinggal di sana. Saya langsung diantarkan ke pelabuhan Kampung Komodo.
Pak Ishaka Mansyur dan keluarga dengan latar papan nama yang menjadi kebanggaannya
Pak Ishaka Mansyur dan keluarga dengan latar papan nama yang menjadi kebanggaannya
Namun sial bagi saya, hari itu tak ada kapal yang berangkat ke Labuan Bajo meskipun di jadwal ada. Rupanya ada kapal yang sedang diperbaiki sehingga belum bisa berangkat hari itu. Saya sendiri tak bisa tinggal lebih lama karena besok pagi saya sudah harus berangkat ke Jakarta. Tak habis akal, Pak Ishaka mencari info tentang kapal yang menuju Labuan Bajo hingga akhirnya menemukan ada salah satu kapal pinisi yang sedang tambat di dekat Pulau Komodo dan akan berlayar hari itu juga. Kapal-kapal ini umumnya berlayar dari Sanur Bali dan akan mendarat di Labuan Bajo, tentu dengan singgah di Pulau Komodo terlebih dahulu.
Kapal pinisi dari Sanur Bali menuju Labuan Bajo yang singgah dulu di Pulau Komodo
Kapal pinisi dari Sanur Bali menuju Labuan Bajo yang singgah dulu di Pulau Komodo
Beliau langsung meminta seorang nelayan untuk mengantar saya dengan perahu ketinting, tentu dengan ongkos secukupnya, menuju kapal tersebut. Tak mau buang waktu, saya langsung berangkat saat itu juga dengan mengucap banyak terima kasih atas bantuan beliau. Sesampainya di kapal pinisi, saya tetap disambut hangat oleh kru kapal karena mereka kenal baik dengan Pak Ishaka. Sore harinya, setelah turis-turis asing kembali ke kapal pinisi tersebut, kapal langsung berlayar menuju Labuan Bajo. Kali ini perjalanan lebih cepat dibanding saat berangkat karena kapalnya memang lebih besar dan cepat. Saya sangat bersyukur tiba ke Labuan Bajo kembali dengan kenangan indah yang tak terlupakan. Saya hanya bisa berdoa semoga kehidupan rakyat Kampung Komodo akan terangkat seiring berkembangnya pariwisata di Pulau Komodo.

HOT VIRAL

 
Powered by Blogger.

Translate

YUSUF WEBMASTER DAN SEO